Upaya
yang dilakukan dalam menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta pada masa
pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi
Tahun 1329 merupakan awal penanda masa
pemerintahan yang baru. Tribhuwana Wijayatunggadewi, kemenakan Jayanegara,
diangkat sebagai ratu Majapahit. Dipilihnya kemenakan Jayanegara karena ia tidak
mempunyai putera mahkota. Masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi juga
tak luput dari pemberontakan, pemberontakan tersebut terjadi di daerah Sadeng
dan Keta. (Muljana, 2005)
Pada 1331 terjadi huru-hara di
Sadeng dan Keta, patih amangkhubhumi
Majapahit pada waktu itu adalah Aryya Tadah tidak datang menghadap ke istana,
ia sedang sakit. Sementara itu huru-hara telah berkembang menjadi pemberontakan
bersenjata. Aryya Tadah kemudian memohon baginda ratu agar ia dapat mengundurkan
diri dari jabatannya, namun ditolak. Aryya Tadah kemudian memanggil Gajah Mada
yang pada waktu itu telah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), salah satu
wilayah Majapahit yang paling penting. Dyah Hayam Wuruk sangat mungkin ditunjuk
oleh ibunya sebagai penguasa daerah Daha dan didampingi oleh Gajah Mada. Waktu
diminta oleh Aryya Tadah untuk menggantikan dirinya sebagai patih amangkhubhumi Majapahit, Gajah
Mada menolaknya.
Aryya Tadah berjanji akan menolong
Gajah Mada jika ia menemui kesulitan-kesulitan kelak. Gajah Mada merasa bahagia
karena mendapat dukungan dari Aryya Tadah. Lalu mereka berdua menghadap Ratu
Tribhuwana. Tidak lama kemudian berangkatlah pasukan Majapahit menuju Sadeng
dan Keta. Saat itu juga ada pula pejabat majapahit yang berkeinginan juga
menjadi patih amangkhubhumi menggantikan
Aryya Tadah. Lalu ia membawa tentara Majapahit berangkat mendahului dan
mengepung Sadeng. Ketika Gajah Mada dan Aryya Tadah mengetahuinya, mereka
mengirim utusan seorang mantri bersama 30 orang untuk mencegah Ra Kembar dan
pasukannya agar tidak menyerbu Sadeng. Ra Kembar tidak terima, utusan tersebut
dicambuki hingga bubar menemui Gajah Mada dan Aryya Tadah kembali.
Gajah Mada hanya berdiam diri dan
memerintahkan tentara Majapahit agar segera mengempur Sadeng. Salah seorang
pemimpin Sadeng, bernama Tuhan Waruyu, pangeran dari pamelekahan yang mempunyai
cemeti sakti. Orang-orang Majapahit gentar menghadapinya. Akhirnya Ratu
Tribhuwana sendiri datang ke sadeng turut menindas pemberontakan tersebut. Maka
padamnya pemberontakan Sadeng dicatat atas kuasa Ratu Majapahit, bukan atas
jasa Gajah Mada, ra kembar, ataupun Aryya Tadah (Munandar, 2010: 32).
Kejayaan Kerajaan Majapahit pada saat
pemerintahan Hayam Wuruk.
Sekitar tahun 1350 ibunda Tribhuwana, Gayatri Rajapatni
tewas. Bersamaan dengan itu masa pemerintahan Tribhuwana pun berakhir. Hal ini
makin menegaskan bahwa Tribhuwana naik takhta hanyalah sebagai pengganti
ibunya, sehingga ketika ibunya wafat maka ia pun harus turun takhta dan
menyerahkannya kepada putranya, Hayam Wuruk.
Kakawin Nagarakertagama yang digubah
oleh Mpu Prapanca dalam masa kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam
Wuruk menyatakan adanya beberapa negara mitra
satata di luar Nusantara, selain berbagai daerah Nusantara yang diakui
telah mengakui panji-panji kebasaran Majapahit. Dalam pupuh 15 Negarakertagama
disebutkan beberapa negara di daratan Asia tenggara yaitu, Thailand
(Syangkayodyapura dan Darmmanagari), Myanmar (Marutma dan Rajapura), Kamboja ,
dan wilayah Vietnam (Champa dan Yawana).
Gajah
Mada menyadari sekali akan hal itu. Oleh karena itu, ia berupaya membendung
pengaruh kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara agar jangan sampai menyebar
di Nusantara. Nusantara sudah semestinya milik kerajaan-kerajaan yang tumbuh di
pulau-pulau itu. Itu sebabnya kali ini Majapahitlah yang pantas mengembangkan
pengaruhnya di pulau-pulau Nusantara, bukan kerajaan-kerajaan di daratan Asia
Tenggara.
Gajah
Mada pun mengangkat sumpah di pertemuan lengkap para pejabat tinggi Majapahit,
di Balairung Kedaton tanpa dihadiri Ratu Tribhuwana seorang ratu Kerajaan
Majapahit. Demikian yang dapat ditafsirkan dari uraian Pararaton. Gajah Mada tampil berdiri sambil memegang gadha, lalu berkata: “ Lamun huwus kalah nusantara isun amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring
Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”
(Padmapuspita, 1966: 38 dalam Munandar, 2010: 50).
Menurut
ucapan sumpah Gajah Mada dalam Pararaton
terdapat 10 wilayah di Nusantara yang harus mengakui kejayaan Majapahit, yaitu
Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik.
Penulis Pararaton hanya menyebutkan
beberapa daerah yang dianggap penting saja dari sejumlah besar daerah Nusantara
yang mengakui kebesaran Majapahit sebagaimana yang tercantum dalam
Negarakertagama. Sepuluh daerah tersebut tersebar di seluruh Nusantara. Jadi
walaupun tidak disebutkan banyak daerah, kesepuluh daerah itu dianggap cukup
mewakili wilayah Nusantara yang harus mengakui kebesaran Majapahit.
Daerah
pertama yang disebut oleh Gajah Mada adalah Gurun, daerah ini terletak di pulau
lombok, artinya mewakili pulau itu
secara keseluruhan; kedua adalah Seran, daerah kepala burung di Papua; daerah
ketiga Tanjung Pura, sebuah wilayah penting yang terdapat di Pulau Kalimantan;
keempat adalah Haru, daerah di wilayah pantai Timur Sumatra Utara; kelima
Pahang, daerah penting di Semenanjung Melayu; keenam Dompo yang terdapat di
Sumbawa dekat dengan wilayah Bima; ketujuh Bali, yang tak lain adalah pulau Bali;
kedelapan Sunda, atau Kerajaan Sunda terletak di Jawa bagian Barat; kesembilan
Palembang, di Sumatra Selatan; dan kesepuluh Tumasik, sebuah nama lama dari
Singapura sekarang.
Dalam
Bukunya (Munandar, 2010: 52) beberapa daerah yang dibidik oleh Gajah Mada
ternyata tempat berkembangnya kerajaan lama, kerajaan terdahulu yang mempunyai
sejarah lebih tua daripada Majapahit. Misalnya Bali, dulu di pulau tersebut
pernah berdiri Kerajaan Balidwipamandala dengan ibu kota Singhadwala milik
dinasti Warmaweda (abad ke-8 – 10). Sunda yang terletak di Jawa Barat, dulu
wilayah itu pernah berdiri kerajaan Tarumanegara sekitar (abad ke-4 – 6).
Menyusul Tanjung Pura yang terletak di Kalimantan. Di pulau itu pernah berdiri
Kerajaan Kutai kuno dengan Rajanya Mulawarman (abad ke-4 – 5), dan Palembang di
Sumatra Selatan bekas tempat kedudukan Kerajaan Sriwijaya yang berkembang dalam
abad ke-8 – 12. Gajah Mada seakan-akan hendak mencari tuah dan kekuatan sakti
dari kerajaan-kerajaan yang mendahului Majapahit, selain itu Gajah Mada juga
sepertinya hendak meneguhkan Majapahit sebagai pewaris dari kerajaan-kerajaan
terdahulu di Nusantara.
Pahang
dan Tumasik adalah daerah-daerah penting untuk menyongsong perhubungan laut
dengan kekuatan dari Asia Tenggara dan yang paling penting sekali adalah
menetralisir pengaruh kekuatan politik Cina. Haru di Sumatra Utara, merupakan
salah satu daerah Barat Nusantara untuk memudahkan hubungan dengan
kerajaan-kerajaan di Benua Jambhudwipa (India). Adapun Dompo harus dikuasai
karena daerah pusat penghasil kayu cendana bermutu tinggi yang sangat
diperlukan dalam berbagai ritus keagamaan dan laku dijual keluar Nusantara,
sedangkan Seran dan pulau-pulau sekitarnya (Maluku) adalah penghasil
rempah-rempah yang dalam abad ke-14 mulai dicari dan diminati oleh pedagang
Jambhudvipa untuk dijual lagi ke kawasan Timur dengan harga yang tinggi.
Di
daerah-daerah kekuasaan tersebut, Majapahit membentuk suatu jaringan dagang,
dimana daerah tersebut harus menyerahkan upeti secara wajib. Hal tersebut
tercantum dalam pupuh 15 dan 16 Negarakertagama dikatakan bahwa daerah-daerah
itu mengirim hasil buminya, untuk memungut upeti secara tetap. Jika
negeri-negeri yang memberontak pada kekuasaan Majapahit, maka kerajaan mengirim
ekspedisi penumpasan dan para pejabat tinggi maritim untuk memulihkan situasi
dan menghukum yang bersalah (Hamid, 2013: 74). Hal tersebut menunjukkan
sedemikian rupa Majapahit dalam mengendalikan dan menguasai daerah jajahannya.
Ambisi
Gajah Mada untuk menaklukan Kerajaan Sunda (Perang Bubat)
Perluasan Kerajaan Majapahit juga terlibat
dalam diplomasi dan aliansi. Hal itu dilakukan dengan cara menikahi anak
perempuan kerajaan yang menguasai wilayah tersebut, agar mudah dalam menaklukan
kerajaan tersebut. Seperti yang dilakukan Hayam Wuruk kepada Kerajaan Sunda, mungkin
didasari dengan alasan politik, dia ingin menjadikan putri Citra Rashmi
(Pitaloka) dari Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Kerajaan Sunda menganggap
lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Gajah Mada melihat pernikahan ini sebagai
peluang untuk memaksa Kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.Gajah Mada ingin
memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam
Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan
Majapahit, hanya kerajaan Sundalah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat
alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah
bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam
Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukansebagai pengantin, tetapi sebagai tanda
takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di
Nusantara.HayamWuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut,
mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Pengakuan Gajah Mada yang seperti itu membuat Kerajaan Sunda tidak bisa
menerimanya. Dan pada saat itu terjadilah pertarungan yang dinamakan dengan
Perang Bubat. Pertarungan tersebut membuat Kerajaan Sunda takluk dibawah
tentara Majapahit, serta memakan banyak korban, dimana hampir seluruh pihak
Kerajaan Sunda tewas.