Saturday 27 January 2018

SEJARAH KEJAYAAN KERAJAAN MAJAPAHIT


Upaya yang dilakukan dalam menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi
            Tahun 1329 merupakan awal penanda masa pemerintahan yang baru. Tribhuwana Wijayatunggadewi, kemenakan Jayanegara, diangkat sebagai ratu Majapahit. Dipilihnya kemenakan Jayanegara karena ia tidak mempunyai putera mahkota. Masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi juga tak luput dari pemberontakan, pemberontakan tersebut terjadi di daerah Sadeng dan Keta. (Muljana, 2005)
            Pada 1331 terjadi huru-hara di Sadeng dan Keta, patih amangkhubhumi Majapahit pada waktu itu adalah Aryya Tadah tidak datang menghadap ke istana, ia sedang sakit. Sementara itu huru-hara telah berkembang menjadi pemberontakan bersenjata. Aryya Tadah kemudian memohon baginda ratu agar ia dapat mengundurkan diri dari jabatannya, namun ditolak. Aryya Tadah kemudian memanggil Gajah Mada yang pada waktu itu telah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), salah satu wilayah Majapahit yang paling penting. Dyah Hayam Wuruk sangat mungkin ditunjuk oleh ibunya sebagai penguasa daerah Daha dan didampingi oleh Gajah Mada. Waktu diminta oleh Aryya Tadah untuk menggantikan dirinya sebagai patih amangkhubhumi Majapahit, Gajah Mada menolaknya.
            Aryya Tadah berjanji akan menolong Gajah Mada jika ia menemui kesulitan-kesulitan kelak. Gajah Mada merasa bahagia karena mendapat dukungan dari Aryya Tadah. Lalu mereka berdua menghadap Ratu Tribhuwana. Tidak lama kemudian berangkatlah pasukan Majapahit menuju Sadeng dan Keta. Saat itu juga ada pula pejabat majapahit yang berkeinginan juga menjadi patih amangkhubhumi menggantikan Aryya Tadah. Lalu ia membawa tentara Majapahit berangkat mendahului dan mengepung Sadeng. Ketika Gajah Mada dan Aryya Tadah mengetahuinya, mereka mengirim utusan seorang mantri bersama 30 orang untuk mencegah Ra Kembar dan pasukannya agar tidak menyerbu Sadeng. Ra Kembar tidak terima, utusan tersebut dicambuki hingga bubar menemui Gajah Mada dan Aryya Tadah kembali.
            Gajah Mada hanya berdiam diri dan memerintahkan tentara Majapahit agar segera mengempur Sadeng. Salah seorang pemimpin Sadeng, bernama Tuhan Waruyu, pangeran dari pamelekahan yang mempunyai cemeti sakti. Orang-orang Majapahit gentar menghadapinya. Akhirnya Ratu Tribhuwana sendiri datang ke sadeng turut menindas pemberontakan tersebut. Maka padamnya pemberontakan Sadeng dicatat atas kuasa Ratu Majapahit, bukan atas jasa Gajah Mada, ra kembar, ataupun Aryya Tadah (Munandar, 2010: 32).

 Kejayaan Kerajaan Majapahit pada saat pemerintahan Hayam Wuruk.
            Sekitar tahun 1350 ibunda Tribhuwana, Gayatri Rajapatni tewas. Bersamaan dengan itu masa pemerintahan Tribhuwana pun berakhir. Hal ini makin menegaskan bahwa Tribhuwana naik takhta hanyalah sebagai pengganti ibunya, sehingga ketika ibunya wafat maka ia pun harus turun takhta dan menyerahkannya kepada putranya, Hayam Wuruk.
            Kakawin Nagarakertagama yang digubah oleh Mpu Prapanca dalam masa kejayaan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk menyatakan adanya beberapa negara mitra satata di luar Nusantara, selain berbagai daerah Nusantara yang diakui telah mengakui panji-panji kebasaran Majapahit. Dalam pupuh 15 Negarakertagama disebutkan beberapa negara di daratan Asia tenggara yaitu, Thailand (Syangkayodyapura dan Darmmanagari), Myanmar (Marutma dan Rajapura), Kamboja , dan wilayah Vietnam (Champa dan Yawana).
            Gajah Mada menyadari sekali akan hal itu. Oleh karena itu, ia berupaya membendung pengaruh kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara agar jangan sampai menyebar di Nusantara. Nusantara sudah semestinya milik kerajaan-kerajaan yang tumbuh di pulau-pulau itu. Itu sebabnya kali ini Majapahitlah yang pantas mengembangkan pengaruhnya di pulau-pulau Nusantara, bukan kerajaan-kerajaan di daratan Asia Tenggara.
            Gajah Mada pun mengangkat sumpah di pertemuan lengkap para pejabat tinggi Majapahit, di Balairung Kedaton tanpa dihadiri Ratu Tribhuwana seorang ratu Kerajaan Majapahit. Demikian yang dapat ditafsirkan dari uraian Pararaton. Gajah Mada tampil berdiri sambil memegang gadha, lalu berkata: “ Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa” (Padmapuspita, 1966: 38 dalam Munandar, 2010: 50).
            Menurut ucapan sumpah Gajah Mada dalam Pararaton terdapat 10 wilayah di Nusantara yang harus mengakui kejayaan Majapahit, yaitu Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik. Penulis Pararaton hanya menyebutkan beberapa daerah yang dianggap penting saja dari sejumlah besar daerah Nusantara yang mengakui kebesaran Majapahit sebagaimana yang tercantum dalam Negarakertagama. Sepuluh daerah tersebut tersebar di seluruh Nusantara. Jadi walaupun tidak disebutkan banyak daerah, kesepuluh daerah itu dianggap cukup mewakili wilayah Nusantara yang harus mengakui kebesaran Majapahit.
            Daerah pertama yang disebut oleh Gajah Mada adalah Gurun, daerah ini terletak di pulau lombok,  artinya mewakili pulau itu secara keseluruhan; kedua adalah Seran, daerah kepala burung di Papua; daerah ketiga Tanjung Pura, sebuah wilayah penting yang terdapat di Pulau Kalimantan; keempat adalah Haru, daerah di wilayah pantai Timur Sumatra Utara; kelima Pahang, daerah penting di Semenanjung Melayu; keenam Dompo yang terdapat di Sumbawa dekat dengan wilayah Bima; ketujuh Bali, yang tak lain adalah pulau Bali; kedelapan Sunda, atau Kerajaan Sunda terletak di Jawa bagian Barat; kesembilan Palembang, di Sumatra Selatan; dan kesepuluh Tumasik, sebuah nama lama dari Singapura sekarang.
            Dalam Bukunya (Munandar, 2010: 52) beberapa daerah yang dibidik oleh Gajah Mada ternyata tempat berkembangnya kerajaan lama, kerajaan terdahulu yang mempunyai sejarah lebih tua daripada Majapahit. Misalnya Bali, dulu di pulau tersebut pernah berdiri Kerajaan Balidwipamandala dengan ibu kota Singhadwala milik dinasti Warmaweda (abad ke-8 – 10). Sunda yang terletak di Jawa Barat, dulu wilayah itu pernah berdiri kerajaan Tarumanegara sekitar (abad ke-4 – 6). Menyusul Tanjung Pura yang terletak di Kalimantan. Di pulau itu pernah berdiri Kerajaan Kutai kuno dengan Rajanya Mulawarman (abad ke-4 – 5), dan Palembang di Sumatra Selatan bekas tempat kedudukan Kerajaan Sriwijaya yang berkembang dalam abad ke-8 – 12. Gajah Mada seakan-akan hendak mencari tuah dan kekuatan sakti dari kerajaan-kerajaan yang mendahului Majapahit, selain itu Gajah Mada juga sepertinya hendak meneguhkan Majapahit sebagai pewaris dari kerajaan-kerajaan terdahulu di Nusantara.
            Pahang dan Tumasik adalah daerah-daerah penting untuk menyongsong perhubungan laut dengan kekuatan dari Asia Tenggara dan yang paling penting sekali adalah menetralisir pengaruh kekuatan politik Cina. Haru di Sumatra Utara, merupakan salah satu daerah Barat Nusantara untuk memudahkan hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Benua Jambhudwipa (India). Adapun Dompo harus dikuasai karena daerah pusat penghasil kayu cendana bermutu tinggi yang sangat diperlukan dalam berbagai ritus keagamaan dan laku dijual keluar Nusantara, sedangkan Seran dan pulau-pulau sekitarnya (Maluku) adalah penghasil rempah-rempah yang dalam abad ke-14 mulai dicari dan diminati oleh pedagang Jambhudvipa untuk dijual lagi ke kawasan Timur dengan harga yang tinggi.
            Di daerah-daerah kekuasaan tersebut, Majapahit membentuk suatu jaringan dagang, dimana daerah tersebut harus menyerahkan upeti secara wajib. Hal tersebut tercantum dalam pupuh 15 dan 16 Negarakertagama dikatakan bahwa daerah-daerah itu mengirim hasil buminya, untuk memungut upeti secara tetap. Jika negeri-negeri yang memberontak pada kekuasaan Majapahit, maka kerajaan mengirim ekspedisi penumpasan dan para pejabat tinggi maritim untuk memulihkan situasi dan menghukum yang bersalah (Hamid, 2013: 74). Hal tersebut menunjukkan sedemikian rupa Majapahit dalam mengendalikan dan menguasai daerah jajahannya.

Ambisi Gajah Mada untuk menaklukan Kerajaan Sunda (Perang Bubat)
            Perluasan Kerajaan Majapahit juga terlibat dalam diplomasi dan aliansi. Hal itu dilakukan dengan cara menikahi anak perempuan kerajaan yang menguasai wilayah tersebut, agar mudah dalam menaklukan kerajaan tersebut. Seperti yang dilakukan Hayam Wuruk kepada Kerajaan Sunda, mungkin didasari dengan alasan politik, dia ingin menjadikan putri Citra Rashmi (Pitaloka) dari Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Kerajaan Sunda menganggap lamaran ini sebagai perjanjian persekutuan. Gajah Mada melihat pernikahan ini sebagai peluang untuk memaksa Kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sundalah yang belum dikuasai.
            Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukansebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.HayamWuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu. Pengakuan Gajah Mada yang seperti itu membuat Kerajaan Sunda tidak bisa menerimanya. Dan pada saat itu terjadilah pertarungan yang dinamakan dengan Perang Bubat. Pertarungan tersebut membuat Kerajaan Sunda takluk dibawah tentara Majapahit, serta memakan banyak korban, dimana hampir seluruh pihak Kerajaan Sunda tewas.

No comments:

Post a Comment

SEJARAH KEJAYAAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Upaya yang dilakukan dalam menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta pada masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi             Tahun...